4 Fakta Perdagangan Senjata Ilegal yang Terjadi di Papua – Sejumlah oknum aparat keamanan yang disebut dalam persidangan diduga memiliki peran penting dalam praktik kejahatan perdagangan senjata dan amunisi selama satu dekade terakhir di Papua, berdasarkan laporan dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP). Namun, sayangnya tambah ALDP, dugaan keterlibatan mereka tidak diusut oleh pihak kepolisian. Tidak tuntasnya pengungkapan kasus perdagangan senjata dan amunisi itu, menurut Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, diduga merupakan bentuk rekayasa untuk terus melanggengkan konflik bersenjata di Papua, termasuk juga untuk kepentingan politik lokal hingga eksploitasi sumber daya alam (SDA). Pihak kepolisian mengeklaim, semua nama yang disebut dalam persidangan tetap didalami, namun perlu pembuktian lebih lanjut atas dugaan keterlibatan mereka. Sementara itu, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) Sebby Sambom, hingga berita ini diturunkan, belum memberikan respon.
Senjata, Kekuatan dalam Pilkada
Selain kepentingan sumber daya alam, senjata juga disebut menjadi alat penting dalam proses pemilihan umum di wilayah Papua, khususnya di wilayah pegunungan. Peneliti konflik dan kekerasan bersenjata dari Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung mengatakan, dalam beberapa pilkada, calon kepala daerah bekerja sama atau ditekan oleh kelompok TPNPB OPM untuk merebut kursi pimpinan.
“Di wilayah pegunungan tengah Papua pernah dalam satu pilkada, kedua calon didukung kelompok TPNPB OPM. Terjadi konflik bersenjata antar mereka dan menimbulkan banyak korban jiwa,” kata Marinus. Senjata, menurut Marinus, menjadi kekuatan dan alat tawar penting bagi TPNPB kepada elit politik lokal untuk mendapatkan dana sehingga aktivitasnya berjalan lancar.
“Setiap pilkada, TPNPB OPM akan menjual jasa kepada calon, siapa yang bayar besar yang didukung. Artinya peran senjata sudah sangat mengakar,” katanya. Untuk itu, kata Marianus dan Gustaf senada, salah satu cara mengurangi konflik di Papua adalah dengan menindak tegas dan memutus rantai perdagangan senjata serta amunisi di sana.
Rekayasa Konflik Masyarakat Panik
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer mengatakan, peredaran senjata dan amunisi yang marak terjadi di Papua diduga merupakan bentuk rekayasa konflik. “Saya melihat ini rekayasa konflik yang diciptakan supaya masyarakat panik, tidak peduli dengan tanah dan hutan mereka. Lalu bisnis masuk dan mengeksploitasi SDA, seperti tambang dengan mudah,” kata Gustaf.
Skenarionya, dia menduga, TPNPB OPM diberikan pasokan senjata dan amunisi oleh oknum tertentu sehingga terjadi tindakan kekerasan di tengah masyarakat. Lalu, atas nama keamanan dan ketertiban, aparat keamanan masuk untuk memberikan perlindungan. Hasilnya, terjadi konflik dan situasi yang tidak aman di wilayah tersebut.
“Mayoritas TPNPB OPM dapat pasokan dari oknum polisi dan TNI, hanya 1-2 kasus dari luar itu. Lihat konflik di Wamena, Lanny Jaya, Nduga, Intan Jaya, Timika, wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam. Peredaran senjata sangat masif di daerah kaya itu,” ujar Gustaf.
Empat Jaringan
Lalu, dari temuan ALDP ini, terdapat setidaknya empat jaringan kejahatan perdagangan senjata dan amunisi ilegal di Papua. Pertama, jaringan yang melibatkan oknum aparat keamanan dengan masyarakat sipil, di mana transaksi ini paling banyak terjadi, sekitar 70% dari total kasus. Kedua, jaringan antara masyarakat sipil yang ditemukan berasal dari Filipina. Ketiga, jaringan antara TPNPB OPM dengan pihak luar negeri, seperti Papua Nugini.
Dan terakhir, jaringan langsung tatap muka antara aparat keamanan dengan TPNPB OPM tanpa melibatkan pihak ketiga. Jalur yang digunakan melalui darat, laut hingga udara. Yang menarik kata Latifah, ketika senjata tersebut dibawa oleh aparat keamanan dengan menggunakan pesawat komersil, tanpa hambatan. Lalu mengenai sumber dana pembelian senjata, Latifah mengatakan, mayoritas berasal dari dana desa, dana pemilihan umum hingga pemasukan dari tambang. Harga amunisi yang dijual sekitar Rp150.000 hingga Rp500.000 per butir, sementara harga senjata laras panjang M16 dan M4 mencapai hingga lebih dari Rp300 juta.
Pemasokan Senjata
Mayoritas TPNPB OPM dapat pasokan dari oknum polisi dan TNI, hanya 1-2 kasus dari luar itu. Lihat konflik di Wamena, Lanny Jaya, Nduga, Intan Jaya, Timika, wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam. Peredaran senjata sangat masif di daerah kaya itu,” ujar Gustaf.
“Contoh kasus di Nabire. Dua oknum Brimob memasok senjata berkali-kali kepada kelompok TPNPB di Intan Jaya dan Nduga. Senjata itu dari Kelapa Dua, lewat pesawat, dan berkali-kali transit. Petugas kemana sampai bisa lolos itu semua senjata? Besar dugaan ada oknum aparat yang mempunyai kuasa terlibat,” tambah Gustaf.
Senada, Latifah mengatakan, peredaran senjata ilegal ini merupakan bentuk “pemeliharaan” konflik sehingga kebijakan keamanan dapat terus diberlakukan di Papua. “Tujuannya ya motif ekonomi. Masyarakat takut, meninggalkan tempatnya, kemudian terjadi eksploitasi alam tanpa perlawanan,” kata Latifah.