Beredarnya Penjualan Narkotika di Dalam LAPAS – Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Komisaris Jenderal Polisi Petrus Reinhard Golose menyebutkan banyak narapidana narkotika berusaha mengendalikan peredaran obat terlarang dari dalam lembaga pemasyarakatan (lapas). Namun, Golose tidak menyebutkan data secara rinci mengenai bandar narkotika yang terus mengendalikan peredaran dari lapas itu. “Di lapas, mereka banyak yang menjalani hukuman mati dan penjara seumur hidup, namun mereka tetap berusaha mengelabui petugas lapas dengan caranya untuk mengontrol (narkotika),” kata Golose saat menutup rangkaian kegiatan ‘Shooting Against Drugs’ di Lapangan Tembak Polda Bali Tohpati, Denpasar, Bali.
Menurut Golose, kasus tindak pidana narkotika di Indonesia mendominasi semua jenis kejahatan yang telah berkekuatan hukum tetap atau diputus oleh putusan pengadilan. Golose mengatakan rata-rata sekarang narapidana yang masuk di lembaga pemasyarakatan 60 sampai dengan 70 persen adalah napi yang terlibat tindak pidana narkotika walaupun secara nasional sudah ditekan. “Di daerah-daerah masih lebih tinggi narkotika dibandingkan tindak pidana lain, seperti pidana korupsi, pidana umum, dan pidana tertentu dengan narkotika,” kata Golose.
Karena itu, BNN terus melakukan kontrol terhadap masuknya narkotika ke dalam lapas dan pengendalian narkotika dari dalam lapas. Golose menyebutkan bahwa angka kematian karena narkotika di Indonesia cukup banyak seiring dengan pengguna, namun data tersebut tidak terungkap ke publik. “Ini banyak disembunyikan, tetapi hampir sekarang bisa ditekan, namun untuk rehabilitasi banyak yang kita lakukan di BNN, dalam setahun banyak rehabilitasi kemudian sudah ditemukan banyak yang berkaitan dengan NPS (new psychoactive substances/narkotika jenis baru),” kata Golose.
Tanggapan BNN Terhadap Perdaran Narkotika
Dilansir dari laman resmi Badan Narkotika Nasional, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami, mengatakan bahwa lapas dan rutan (rumah tahanan) di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas jumlah narapidana hingga 107%. Lebih detailnya, daya tampung dari lapas hanyalah 130.512 narapidana, namun hingga tahun 2020 tercatat jumlah narapidana penghuni lapas mencapai 269.775 orang. Hal ini tercermin dari data yang dilaporkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham, 2019) bahwa dari tahun 2015-2018 penghuni lapas terus bertambah dan trennya akan terus meningkat hingga tahun-tahun berikutnya. Kemudian Sri Puguh melanjutkan bahwa dari total angka penghuni lapas tahun 2019, 129.820 diantaranya merupakan narapidana kasus narkotika. Sehingga, menurut beberapa tulisan, untuk mengatasi kelebihan kapasitas di lapas ini, perlu dilakukan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika sebagai upaya mengurangi angka tersebut.
Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia
Penyalahgunaan narkotika bukanlah satu-satunya masalah yang tengah dihadapi Indonesia saat ini. Penyalahgunaan narkotika serta pelayanan rehabilitasi yang dinilai kurang mumpuni, dianggap sebagai penyebab sulitnya memberantas kasus narkotika di Indonesia. Akan tetapi, perlu diketahui pula bahwa penyebab lainnya yang mempersulit pemberantasan narkotika ini adalah masih lestarinya jaringan pengedaran narkotika di Indonesia. Terlebih lagi, pengedaran narkotika bahkan masih berputar di beberapa lapas dan rutan di Indonesia. Terdapat beberapa kasus peredaran narkoba melalui pola peredaran berbasis lembaga kemasyarakatan dan melibatkan narapidana yang masih menjalani proses penghukuman. Permasalahan seperti kelebihan kapasitas atau overcrowding dalam Lapas menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Beberapa faktor penyebab lain yang dapat menciptakan peredaran narkoba di Lapas adalah terdapatnya komunikasi di antara aktor-aktor penyelundupan. Hal tersebut juga merupakan peran penting untuk melancarkan tindak pidana penyelundupan narkoba di lapas dan rutan. Komunikasi antara narapidana dengan pihak di dunia luar kemungkinan disebabkan oleh jaringan yang luas yang ia miliki sebelum ia dipenjara. Penyelundupan obat-obatan terlarang di lapas dan rutan memiliki variasi rute, seperti melalui pos, paket, kunjungan lapas, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlu bagi pihak berwenang dalam menentukan sistem penghukuman berbasis rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba sehingga mereduksi permasalahan yang terjadi di Lapas.