Arsip Tag: Kasus Felina

9 Kasus Mala Praktik di Rumah Sakit Indonesia

9 Kasus Mala Praktik di Rumah Sakit Indonesia

9 Kasus Mala Praktik di Rumah Sakit Indonesia – Tahun 2004 diwarnai dengan sejumlah gugatan malapraktik yang diajukan oleh pasien atau keluarganya terhadap dokter atau rumah sakit yang telah merawat mereka. Sebagian besar gugatan belum jelas hasilnya. Namun, satu perkara di PN Cibinong menuai hasil. Pengadilan mengabulkan tuntutan ganti rugi Rp520 juta. Dari sekian banyak dugaan malapraktik, berikut ini adalah 9 kasus dugaan malapraktik yang banyak menghiasi pemberitaan media massa sepanjang 2004

Kasus Irwanto di RS Internasional Bintaro

Irwanto, melalui kuasa hukumnya, menggugat PT Mitrajaya Medikatama selaku pengelola Rumah Sakit Internasional Bintaro (RSIB) ke PN Tangerang, Senin (17/5). Peneliti dari Universitas Atmajaya  itu mengadukan dugaan malapraktik yang dilakukan tim medis dari RS tersebut, sehingga mengakibatkan ia lumpuh sampai sekarang.

Baca Juga: 5 Kota dengan Kasus Pemerkosaan Paling Naas di Indonesia

Kejadiannya berawal dari keluhan nyeri di dada dan tangan kiri pada 27 Juli 2003. Dokter di RS Internasional Bintaro mendiagnosa Irwanto menderita penyakit jantung dan memberinya infus dengan streptokinase yang harganya Rp4,8 juta. Beberapa jam kemudian, Irwanto justru lumpuh sebagian.

Kecewa dengan RSIB, Irwanto ke RS MMC Jakarta selama dua Minggu. Karena tak mengalami kemajuan, Irwanto berobat ke Singapura. Hasil cek ulang jantung Irwanto menunjukkan bahwa jantung Irwanto normal dan juga tidak ada penyumbatan. Kelumpuhan Irwanto kemungkinan akibat kebocoran pembuluh darah akibat pemberian streptokinase (membuat jantung memacu sekuat mungkin) pada jantung yang sehat.

Kasus Felina

Fellina menjalani operasi karena ususnya berlipat pada 10 Januari 2004. Begitu jahitan bekas operasi dibuka, luka hasil operasi ternyata belum tertutup sempurna. Sebulan kemudian, luka memang mengecil, tapi tetap belum tertutup sempurna dan mengeluarkan cairan. Usus Fellina terus mendesak lubang kecil itu, sampai akhirnya tersembul keluar. Sejak saat itu selain kesakitan, Fellina terus kelaparan, karena setiap makanan yang masuk akan keluar lagi lewat lubang usus itu.

Enam bulan kemudian, Fellina dipindah ke RSCM untuk perawatan lebih lanjut dan sempat membaik. Dengan kondisinya itu, RSCM memindahnya ke bangsal perawatan umum kelas III. Ironisnya, dalam masa perawatan itu Fellina justru meninggal karena campak pada 6 September 2004. Pihak keluarga juga menyesalkan tindakan RSCM yang memindahkan Felliana ke bangsal umum, padahal kondisinya masih lemah.

Kasus Tarmihim di RSU Saiful Anwar

Pada 7 Maret 2004, Tarmihim dijadwalkan untuk melahirkan lewat operasi. Tim medis RS Saiful Anwar Kota Malang yang memeriksa melaporkan berita buruk, bahwa bayi dalam kandungan Tarmihim sudah meninggal. Tim kemudian meminta izin dari suami Tarmihim, Samsul, untuk mengeluarkan mayat bayi itu menggunakan cunam (penjepit gigi tiga).

Saat dilakukan penjepitan, diketahui bahwa Tarmihim mengandung bayi kembar. Sayangnya, yang dikeluarkan lebih dulu dengan jepit adalah bayi yang masih hidup. Padahal penggunaan cunam hanya diperbolehkan pada bayi yang sudah meninggal. Akibatnya, bayi mengalami luka jepit di kiri dan kanan kepala sepanjang lima sentimeter.

Berdasarkan hal tersebut, Samsul melalui kuasa hukumnya menggugat RS Saiful Anwar dengan tuduhan diduga melakukan malapraktik dalam bentuk kesalahan diagnosa dan pelayanan yang buruk. Saiful menuntut ganti rugi materil dan immateril sebesar Rp5 miliar. Namun pada Selasa (22/6), Kapolresta Malang akhirnya mengeluarkan SP3 terhadap I Wayan Agung Indrawan, tersangka dalam kasus ini, dengan pertimbangan bukti yang diajukan penggugat tidak cukup.

Kasus Shanti Marina di RS Puri Cinere

Meski tidak banyak, namun ada juga gugatan malapraktik yang dikabulkan oleh pengadilan. Salah satunya adalah kasus dugaan malapraktik yang dilakukan oleh dr Wardhani (Tergugat I) tenaga medis pada RS Puri Cinere (Tergugat II) terhadap Shanti Marina.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Cibinong menghukum dr. Wardhani, dokter spesialis THT dan RS Puri Cinere, Depok, untuk membayar ganti rugi sebesar Rp520 juta kepada Shanti Marina. Tergugat I dan Tergugat II terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, yakni lalai dalam melakukan operasi amandel terhadap penggugat yang mengakibatkan penggugat menderita sengau permanen.

Penderitaan Shanti tidak itu saja. Kini napas Shanti menjadi pendek dan menderita sakit ketika menguap atau batuk dan Shanti juga menjadi susah makan dan minum setelah dioperasi.

Kasus Yuliana di  RS Panti Rapih

Orang tua Yuliana Dutabella Lemek (10), Jeremias Lemek SH dan Cecilia Sri Hastuti, menggugat yayasan, direktur, dan tiga dokter dari RS Panti Rapih, Yogyakarta. Menurut Jeremias, gugatan itu terkait dengan dugaan malapraktik yang dilakukan tim dokter RS itu terhadap anak mereka.

Kejadiannya bermula saat tim dokter dari RS Panti Rapih melakukan operasi usus buntu terhadap Yuliana pada 24 Februari 2004. Pasca operasi, Yuliana ternyata demam. Dokter yang mendiagnosis ulang menemukan adanya gangguan pankreas dengan rekomendasi operasi kedua terhadap pankreas. Namun hasil pemeriksaan ulang dari tim dokter lain dari RS Sardjito ternyata tidak menemukan adanya masalah di pankreas. Demam yang timbul kemungkinan akibat dari operasi usus buntu tersebut.

Berdasarkan hal itu, Jeremias yang mantan konsultas hukum pada RS Panti Rapih, menggugat RS itu dengan gugatan materil sebesar Rp83 juta dan immateril sebesar Rp10 miliar. Pada 16 Juni, RS Panti Rapih menolak gugatan tersebut dan balik menggugat Jeremias dengan tuduhan mencemarkan nama baik RS.

Kasus dr Marius terhadap dr Tri dan Depkes

Kasus malapraktik juga menimpa dokter. dr Marius Widjajarta menuntut dr Tri Nugroho atas dugaan kelalaian yang membuat istri Marius (seorang dokter gigi) bertambah parah penyakitnya. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia itu menuntut agar Tri menjalankan pembinaan ulang selama setahun atau ganti rugi sebesar Rp2 miliar.

Kasusnya bermula saat istri dr Marius mengalami patah tulang saat mengikuti kegiatan outbond yang diselenggarakan Badan Pelatihan Kesehatan. Tim kesehatan dari Depkes yang dipimpin dr Tri membawa isteri Marius ke ahli patah tulang di Ciloto, untuk diurut selama dua. Setelah diurut, kondisi tulang patah tak membaik, bahkan menjadi berserakan di dalam kulit.

Menurut Marius, jika ada dugaan patah tulang, seharusnya mengikuti prosedur tetap kesehatan, yaitu diperiksa lewat sinar rontgen. Tapi yang terjadi adalah bukan tindakan medik. “Anehnya, ini dilakukan petugas kesehatan dari Departemen Kesehatan,” kata Marius. Pada 30 Agustus 2004, Depkes akhirnya bereaksi dan bersedia memenuhi tuntutan dr Marius.

Kasus Sukma Ayu di RS Medistra

Dugaan malapraktik oleh tim dokter RS Medistra terhadap artis sinetron Sukma Ayu dilontarkan pertama kali oleh Ketua Persatuan Artis Sinetron Indonesia (Parsi), Anwar Fuadi, saat membesuk Sukma yang tengah koma. Saat itu Parsi mengeluarkan petisi yang meminta pihak rumah sakit menjelaskan secara rinci penyebab komanya Sukma.

Meski pihak RS sudah memberi keterangan perihal kronologi perawatan Sukma, tetap saja lamanya kondisi Sukma sebelum koma dan akhirnya meninggal menjadi pertanyaan pihak keluarga. Kabar terakhir menyebutkan bahwa pihak keluarga Sukma masih sebatas konsultasi dengan kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea, perihal rencana mengajukan gugatan malapraktik tersebut.

Kasus Indra Syafri Yacob Vs RSCM, RS Pelni dan RS PMI

Indra Syafri Yacob kembali harus menelan pil pahit setelah PN Jakarta Pusat menolak gugatan malapraktik yang dilayangkan terhadap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI), Kamis (30/9). Sejak dua tahun lalu, Indra berjuang agar tiga RS itu bertanggung jawab atas dugaan kematian istrinya, Adya Vitry Harisusanti. Menurut majelis hakim, gugatan dinilai prematur karena belum dilakukan autopsi terhadap korban untuk mengetahui sebab kematian.

Gugatan ini berawal ketika Adya muntah darah pada 20 Oktober 2002. Ia divonis menderita kista dan dirujuk ke RS PMI Bogor. RS itu dinilai telah melakukan kelalaian medis yang merugikan kondisi pasien, karena membatalkan jadwal operasi akibat dokter tidak datang. Selama 14 hari tanpa penjelasan yang memadai mengenai kondisi istrinya, Indra kemudian memindahkannya ke RS Pelni Petamburan.

Di RS Pelni, Adya kembali dirawat. Namun dokter ternyata belum mampu menghentikan pendarahan terus menerus yang diderita pasien itu. Tanpa pemeriksaan USG, menurut Indra, istrinya divonis menderita tumor. Setelah pemeriksaan USG ternyata tidak ditemukan pendarahan di bagian kandungan dan tumor.

Karena tidak puas, Indra lalu meminta rujukan ke RSCM dan dirawat di sana pada 17 Desember 2002. Setelah di-diagnosa melalui radiologi nuklir ternyata ditemukan kebocoran sebanyak dua lubang di bagian usus Adya. Dokter pun memutuskan untuk mengoperasi dengan pemasangan alat CVP (Central Vena Presure). Ternyata pemasangan alat itu berakibat fatal dan menyebabkan kematian 10 menit kemudian.

Kasus Wulan di RSCM

Rabu (28/4) siang, Mantep Mulyono (36) melaporkan kepala bedah RSCM , dr Amir Toyib, ke Polda Metro Jaya. Dokter itu diduga telah melakukan malapraktik sehingga menyebabkan anak Mantep, Wulan Yulianti (8 bulan) meninggal dunia setelah dua kali dioperasi.

Wulan didiagnosa tumor di perut pada 11 November 2003, dan dioperasi pada 8 Desember 2003. Hasil operasi menyatakan bahwa tumor jinak dan Wulan diperbolehkan pulang. Ternyata perut Wulan justru membesar dan dioperasi kembali pada 12 April 2004. operasi kedua ini juga tidak mengangkat tumor, dan hanya untuk memperlancar pernapasan.

Namun Wulan justru mengalami sesak nafas dan koma. Jumat (23/4), ibunda Wulan menandatangani izin untuk operasi ketiga kalinya untuk Wulan, namun operasi diundur karena pada Jumat, Sabtu dan Minggu tidak ada jadwal operasi. Minggu pagi, bayi malang itu meninggal dunia.