3 Fakta Tersembunyi di Balik Obrolan Anies dan Prabowo – Perjanjian politik yang melibatkan Mantan Gubernur DKI Anies Baswedan ramai diperbincangkan belakangan ini. Anies akhirnya buka suara soal perjanjian itu. Untuk diketahui, ada dua perjanjian yang melibatkan Anies. Pertama, perjanjian dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang disebut terkait pilpres. Kedua, perjanjian utang Rp 50 miliar dengan Menparekraf Sandiaga Uno saat Pilkada 2017. Anies mengungkap semua hal terkait perjanjian versi dirinya. Anies buka-bukaan hal tersebut saat wawancara dengan motivator Merry Riana. Wawancara itu diunggah akun YouTube Merry Riana. Tim media Merry Riana sudah mengizinkan wawancara tersebut untuk dikutip.
Mantan Gubernur DKI Anies Baswedan buka suara soal perjanjian dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Dalam kabar yang beredar, isi perjanjian itu yakni Anies menyatakan tidak akan maju capres jika Prabowo maju capres. Anies awalnya menjelaskan saat dirinya terpilih menjadi gubernur di pilkada 2017 akan berkomitmen menyelesaikan tugasnya di Jakarta selama 5 tahun. Karena itu, dia tidak akan mengikuti pilpres. Usai pilkada 2017 memang ada pehelatan pilpres .
Baca Juga : 4 Jenis Reksadana untuk Investasi dengan Resikonya Sendiri
Perjanjian Utang Rp 50 Miliar
Anies mengakui adanya sumbangan Rp 50 miliar tersebut. Anies menyebut saat pilkada 2017 banyak sekali sumbangan berdatangan untuk modal kampanye. “Jadi begini, pada masa kampanye itu banyak sekali melakukan sumbangan, banyak sekali, ada yang kami tahu, ada yang kami tidak tahu, dan ada yang memberikan dukungan langsung apakah relawan. Nah kemudian ada pinjaman (Rp 50 miliar), sebenarnya bukan pinjaman tapi dukungan, yang pemberi dukungan ini meminta dicatat sebagai utang, jadi dukungan yang minta dicatat sebagai utang,” kata Anies Anies menegaskan uang Rp 50 miliar itu bukan dari Sandiaga Uno. Anies menyebut pemberi Rp 50 miliar itu sebagai pihak ketiga. Anies lantas membeberkan isi perjanjian dengan pemberi Rp 50 miliar itu. Isinya, sumbangan Rp 50 miliar itu dianggap selesai jika Anies-Sandi menang pilkada artinya uang tersebut dianggap sebagai bentuk dukungan. Namun jika kalah, Rp 50 miliar itu dianggap utang dan Anies-Sandi siap menggantinya. “Ini kan dukungan untuk sebuah kampanye untuk perubahan untuk kebaikan, bila ini berhasil maka itu dicatat sebagai dukungan, bilang kita tidak berhasil dalam pilkada maka itu menjadi utang yang harus dikembalikan, jadi itu kan dukungan tuh, siapa penjaminnya? Yang menjamin Pak Sandi, jadi uangnya bukan dari Pak Sandi, jadi ada pihak ketiga yang mendukung, kemudian saya menyatakan ada suratnya, surat pernyataan utang,” ujarnya.
“Saya yang tanda tangan. Dan dalam surat itu disampaikan apabila pilkada kalah maka saya berjanji saya dan Pak Sandiaga ini berjanji mengembalikan, dan saya dan Pak Sandi yang tanda tangan saya. Apabila kita menang pilkada maka ini dinyatakan sebagai bukan utang dan tidak perlu jadinya selesailah. Jadi itulah yang terjadi, makanya begitu pilkada selesai menang selesai,” lanjut Anies. Anies lantas menjelaskan sistem perjanjian jika kalah harus mengganti uang tersebut. Anies menyebut jika dirinya menang maka akan berada di dalam pemerintahan sehingga tidak bisa mencari uang untuk mengembalikan uang tersebut. Sebaliknya, jika kalah dia akan berada di luar pemerintahan dan bisa mengganti uang tersebut dengan membangun usaha atau melakukan upaya lain.
“Yang perlu digarisbawahi kenapa kalah bayar? Biasanya orang berpikir menang bayar. Kalau kalah maka saya akan berada di luar pemerintahan, maka di situ saya cari uang untuk mengembalikan. Mungkin saya bisnis mungkin saya usaha apapun supaya mengembalikan,” ucap Anies. “Kalau saya menang, saya masuk pemerintahan, saya tidak cari uang untuk bayar di pemerintahan untuk bayar itu. Kalau tidak, saya harus ngumpulin uang bayar utang, bukankah ini yang menjebak kita selama ini dengan secara macam praktik-praktik fund rising untuk biaya pilkada,” lanjut Anies. “Kemarin sebaliknya bila kalah maka saya di luar pemerintahan, sah dong cari uang, sah dong punya usaha tapi begitu menang saya masuk pemerintahan malah nggak usah (diganti). Justru itulah dukungan anda untuk Jakarta yang lebih baik, membawa perubahan Jakarta,” imbuh Anies.
Diajak Cawapres Dampingi Prabowo di Pilpres 2019
Anies lantas bercerita dirinya diajak jadi cawapres untuk mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2019. Anies menolak ajakan tersebut karena komitmen janji 5 tahun di Jakarta. “Jadi ketika di tahun 2018 saya diajak untuk menjadi wakil pasangannya pak Prabowo, saya sampaikan juga kepada beliau. ‘Pak Prabowo, terima kasih atas undangannya ini sebuah kehormatan, tetapi saya punya komitmen untuk menyelesaikan di Jakarta selama 5 tahun’. Jadi saya rasa itu, dan memang kuncinya adalah menyelesaikan janji dengan warga Jakarta,” ujarnya. Anies menyebut banyak kontrak janji terhadap warga Jakarta yang dia tanda-tangani. Salah satunya perjanjian dengan warga Kampung Akuarium.
“Karena janji saya dengan warga Jakarta, banyak tanda tangan tuh kontrak-kontrak politik dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota, dengan Kampung akuarium, dengan masyarakat kaki lima itu semua janji-janji yang harus saya tunaikan. Apa yang harus saya sampaikan kepada mereka kalau setelah 1 tahun saya pergi? Kemudian, nanti mereka tidak lagi percaya kepada proses demokrasi. Karena yang bertandatangan untuk mengikuti pemilu, begitu saja meninggalkan. Nah saya enggak mau kerjakan itu, itulah yang kemudian saya laksanakan,” ujarnya.
Perjanjian Pilpres dengan Prabowo
Anies awalnya menjelaskan saat dirinya terpilih menjadi gubernur di pilkada 2017 akan berkomitmen menyelesaikan tugasnya di Jakarta selama 5 tahun. Karena itu, dia tidak akan mengikuti pilpres. Usai pilkada 2017 memang ada perhelatan pilpres di tahun 2019. “Sebenarnya sederhana. Saya sampaikan pada waktu mulai bekerja bahwa saya akan fokus di Jakarta selama 5 tahun, dan sesudah Pilkada 2017 itu ada Pilpres 2019. Jadi saya sampaikan saya tidak akan tengok kanan kiri saya akan full 5 tahun di Jakarta karena itu saya tidak akan mengikuti Pilpres,” kata Anies. Anies lantas menyinggung momen debat cagub-wagub yang ditanya panelis apakah akan ikut dalam perhelatan pilpres. Komitmen menyelesaikan tugas 5 tahun di Jakarta ditekankan Anies dalam momen debat tersebut.
“Walaupun kalau ingat ya, pada saat debat pertama, debat calon gubernur loh, pertanyaan pertama dari panelis itu begini ‘Pak Anies, apakah bapak akan maju Pilpres apa tidak?’. Loh ini lagi debat gubernur kok ditanyaian pilpres. Saya bilang ‘no, saya akan di Jakarta’. Dan itu rekamannya ada, wong namanya juga debat,” ujarnya. “Jadi sesederhana itu. Tuntaskan 5 tahun, sesudah itu kita tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak tahu apakah saya akan kembali mengajar, apakah saya akan meneruskan di pemerintahan. Kalau meneruskan di pemerintahan apakah tetap di Jakarta, apakah untuk tugas yang berbeda. Jadi kita komit 5 tahun, dan komitmen itu kita pegang,” lanjut Anies.
Anies berharap perjanjian sistem tersebut menjadi referensi ke depan. Dia menyebut tidak semua dukung-mendukung itu dijadikan utang. “Saya berharap, pola seperti ini bisa menjadi bahan referensi untuk dipikirkan. Bahwa mendukung itu untuk perubahan, bukan mendukung sebagai investasi untuk nanti dikembalikan dalam bentuk privilege-privilege,” ucapnya.